Sudah 3 hari kopi pagi terasa lebih manis dari biasa. Padahal dengan takaran yang sama, dan less sugar. Manisnya datang dari teman ngopi: opini Kompas.
Tiga hari berturutan ada tulisan pesohor yang biasa sepanggung di acara2 diskusi. Selasa ada Gun Gun Heryanto dengan “Enigma Pencapresan 2024″, disusul Zainal Arifin Mochtar yang menyoal pendapat Wamenkumham tentang RUU KUHP dengan tulisan “Pasal Penghinaan, Hukum, dan Demokrasi”. Dan Kamis ada Agus Sudibyo yang menulis fenomena medsos “Balkanisasi Demokrasi Digital”.
Sengaja judul opini mereka aku tulis lengkap untuk memudahkan pencarian dan membaca sendiri, agar menghilangkan subjektivitas karena aku mengenal mereka. Kang Gun Gun, Ndan Uceng, dan Mas Agus sering aku jadikan narsum, karena diluar sebagai pembicara di fora diskusi mereka tetap setia menulis. Verba volant scripta manent, omongan menguap, tulisan abadi. Lakon yang membuat pendapat mereka selalu update, bernas, dan tidak sekedar bikin ramai. Memang ‘bikin ramai’ –bicara menyengat, berapi-api, dan kontroversi– menjadi salah satu faktor yang membuat talkshow disukai.
Era media sosial, dimana semua orang bisa berjejaring dan berinteraksi tanpa memandang hirarki, ekspresi dan sikap terpampang dengan mudah. Maka pertarungan untuk mendapatkan layar saat ini semakin sengit. Tidak hanya narasumber yang memiliki latar belakang akademis yang kini menjadi perhatian pengelola talkshow, tetapi mereka yang bersuara sesuai dengan minat dan kebutuhan newsroom.
Di kalangan pengelola talkshow ada guyonan “petasan banting” untuk menggambarkan narasumber yang bisa menghidupkan show. Padahal debat butuh dialektika, dimana sebuah pendapat bukan kebenaran tunggal, tetapi harus membuka ruang kritik. Itulah kultur demokrasi.
Pandemi menyisakan kondisi baik-buruk bagi jurnalisme. Secara teknis, kecepatan mendapatkan berita meningkat pesat. Dulu narasumber harus datang ke studio, atau bergabung dengan peralatan satelit SNG atau Live-U. Mahal dan repot. Kemajuan zaman membuat hubungan bisa dengan skype dan zoom yang tersedia dalam genggaman. Lalu konpers bisa dilakukan tanpa kehadiran wartawan di lokasi. Bahkan wawancara pun bisa sepihak. Jurnalis kirim pertanyaan lewat WA, jawaban dikirim dengan video.
Wawancara nir perjumpaan itu mengeliminir dialektika. Pendapat narasumber tidak dikritisi. Pandangan itu menjadi kebenaran tanpa kesempatan menguji secara kritis. Blind spot yang seharusnya ditutupi dengan diskusi dan eleborasi tidak terjadi.
Ini juga terjadi pada dialog dengan narasumber dropping. Mereka hadir karena membeli slot. Blocking entah dengan materi atau kekuasaan. Narasumber seperti ini tidak harus memilih diksi terbaik agar menarik perhatian, karena slot sudah pasti tersedia. Pun tanpa menyediakan ruang kritik. Akibatnya mereka tak mampu membangun argumentasi, karena terlanjur nyaman dan tidak merasa perlu pertemuan dialektis pertarungan pendapat. Dialog tipe ini bukan mustahil akan muncul di tahun politik nanti.
Debat sejatinya menghasilkan pendapat untuk kemaslahatan. Tidak hanya menghasilkan noise, ramai dan viral. Disitulah perlunya individu yang memiliki kecerdasan, menyajikan pendapat dengan latarbelakang yang tepat untuk mendapatkan diskursus yang berguna bagi publik.
PEREMPUAN jelita itu berdiri dari bangku kafe di pinggir kanal. Melihat gaya serta tas kulit…
Begitu memasuki hotel, aku disambut receptie yang ramah menyapa. Mungkin kata ini yang diserap menjadi resepsi…
Tergopoh Sukanta bergerak dari kursi, begitu mendengar suara sepatu di seret. Malang, karena ia awalnya…
Dari segelintir unggahannya, Bima rajin menggunakan kata-kata bombastis. Gubernur dajjal, megawati janda, soekarno mampus, orang…
Melakukan tindakan preventif yang bisa membuat pihak lain terhindar dari kecelakaan, adalah perbuatan baik. Seperti…
This website uses cookies.