Categories: PORTPOURI

Pergi Tak Kembali

Kau sayat luka baru di atas duka lama, coba bayangkan betapa sakitnya (Ebiet G Ade)

Siang itu, Senin 13 Juni kami datang kembali ke TPU Bambu Apus, dibawah tenda yang sama dengan lima hari lalu. Bukan untuk ziarah ke makam adik ipar yang wafat Rabu 8 Juni, tapi memakamkan Ibu (mertua).
Ibu (69 tahun) masuk ruang operasi di jam yang hampir bersamaan dengan jenazah Novita masuk ke liang lahat. Selama 5 hari itu, kami berpikir keras tentang timing dan cara penyampaian kabar duka kepada Ibu. Selain sedih, Ibu pasti marah kenapa ia tak dikabari anaknya wafat.
Kenyataan berkata lain. Kesadaran ibu drop sejak operasi dan tak pernah diajak bicara lagi hingga akhir hayat. Mereka yang dimakamkan bersisian pasti sudah bercengkrama di alam sana.
Sejak terpapar covid Agustus tahun lalu, berujung pada kematian anak bungsunya juga karena covid, kesehatan ibu menurun. Puncaknya Februari lalu  ibu berhari-hari di ICU. Sejak itu almarhumah 3 kali keluar masuk ICU, dengan gangguan beberapa organ.
4 bulan belakangan keduanya bergiliran masuk RS. Kadang malah disaat bersamaan berada di RS berbeda. Novita pernah mengidap kanker, dan sudah menjalani mastektomi. Belakangan ada gangguan di beberapa organ, berakhir dengan cuci darah akibat gagal ginjal.
Makam ibu dan Novita bersisian, karena jarak kepergian mereka yang pendek. Sekitar 50 meter di depan, ada makam Sinta, putri Ibu yang wafat 18 Agustus 2021. Jadi dalam sepekan kami kehilangan 2 anggota keluarga sekaligus, dan jika diperluas dalam 10 bulan, ada 3 anggota keluarga yang pergi.
Bukan ujian yang mudah. Kullu nafsin żā`iqatul-maụt, ṡumma ilainā turja’ụn. Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” Ayat itu menjadi mantra penguat, bahwa ini semua takdir Allah. Tentu saja doa dan kehadiran kerabat, tetangga, teman, dan jamaah takziah menjadi tonggak penopang jiwa yang lelah.

Aku sempat was-was untuk mati di Ibukota. Mengingat pola hidup nafsi-nafsi dan kesibukan warganya. Tetapi dua kematian beruntun ini meruntuhkan kekhawatiranku. Begitu dari rumah sakit kami mengabari ke rumah, tetangga langsung sigap menggelar tikar, memasang tenda, memotong papan, persiapan pemandian, menyiapkan makam, hingga hadir dalam penggajian bermalam-malam. Suasana guyub ini, support system yang berjalan baik, menjadi pengurang duka, peneman dalam sedih, dan teman menuju pulih.

Dari kematian, kita memang banyak belajar.

Latief Siregar

Share
Published by
Latief Siregar

Recent Posts

Menikmati Surga Pesepeda di Utrecht

PEREMPUAN jelita itu berdiri dari bangku kafe di pinggir kanal. Melihat gaya serta tas kulit…

3 bulan ago

ADA KORTING DEKAT BIOSKOP

Begitu memasuki hotel, aku disambut receptie yang ramah menyapa. Mungkin kata ini yang diserap menjadi resepsi…

3 bulan ago

Membunuh Mental Sukanta

Tergopoh Sukanta bergerak dari kursi, begitu mendengar suara sepatu di seret. Malang, karena ia awalnya…

2 tahun ago

Bima Dibela Bima Dicela

Dari segelintir unggahannya, Bima rajin menggunakan kata-kata bombastis. Gubernur dajjal, megawati janda, soekarno mampus, orang…

2 tahun ago

Bagaimana Mencipta Nama Baik

Melakukan tindakan preventif yang bisa membuat pihak lain terhindar dari kecelakaan, adalah perbuatan baik. Seperti…

2 tahun ago

This website uses cookies.