Categories: AKSARA

Para Pilihan Tuhan

TANGAN Philipus Pasau bergetar. Badannya yang mungil membuatnya mendongak menyalami petinggi negeri yang menyambanginya. Guru Kejar Paket A di Dongi-dongi, Sigi, Sulswesi Tengah itu seperti bermimpi, ia bertemu, disambut ramah oleh para menteri dan pemimpin Lembaga Tinggi Negara.

Philip bersama 13 “pahlawan” dari seluruh Indonesia, dihadirkan MNCTV karena prestasi mereka bekerja bagi sesame di lingkungannya, dengan upaya sendiri. Philips misalnya, Ia mendirikan sekolah sederhana untuk warga tidak mampu. Tak mudah, awalnya ditolak anak-anak yang ogah belajar, termasuk kepala suku. Belum lagi pandangan miring, karena tubuhnya yang kecil dianggap tidak mampu menolong orang lain. “Walaupun tubuh saya kecil, tapi semangat saya tidak pernah kerdil”, kata guru yang tidak dibayar itu.

Lain lagi Jacob Tanda. Di usianya yang menapak senja, warga Mbatakapidu, Sumba Timur berumur 64 tahun itu, menggerakan warga untuk bercocok tanam. Ia tak pasrah dengan akronim NTT, Nasib Tak Tentu, dengan mengajak warga menanam apa saja. Tanah yang gersang, mereka sulap jadi kawasan pertanian. Setiap rumah wajib menanam puluhan tanaman. Tak mudah mengajak warga yang sudah terkenal dengan sifat egois dan malas, untuk rajin dan bergotong royong.

Tapi itulah Jacob. Ia tak paham swasembada dan istilah-istilah rumit pertanian lainnya. Tapi ia berhasil memotivasi masyarakat agar tidak mewariskan kemiskinan. Semboyannya “Lahir miskin wajar, Mati miskin kurang wajar”, membuat desa yang dulu gersang, menjadi pemasok hasil tani. Desa Mandiri Pangan.

Nun di pedalaman Sumatera Utara. Sujiyah menjadi satu-satunya bidan di Desa Sikuik-kuik, Tapanuli Selatan. Kendala transportasi dan jarak satu hal, tapi bidan Suci juga dihadapkan pada kebiasaan warga mengadu nasib kepada dukun. Waktunya habis untuk bepergian menemui warga, termasuk Dusun Tana Tombangan, yang hampir semua penghuninya mengidap TBC. Jiwanya sesuci namanya, tak mengejar materi, bahkan rela kehilangan waktu bersama keluarga.

Philipus, Jacob, dan Suci hanya 3 dari „14 Pahlawan MNCTV“. Masih ada Andre Juan Michiels (Penerus Keroncong Tugu), Cahya Yudi Widiyanto (Peneliti untuk Desa Mandiri Ponorogo), Indra Darmawan (Sarjana Pemulung dari Saguling), Ita Yuliana Adu (Pelindung Anak-anak Kelapa Tinggi), Kustiyah Gandu (Pembela Perempuan Lombok), Lalu Supratman (Penyelamat Air dari Lombok), Masyudi (Penggerak Ekonomi dari Sumenep), Mukhlas (Dokter Hewan Pemberdaya Getasan), Rob Sinke (Penyelamat Alam Halmahera),  Syarifuddin (Pemberdaya Masyarakat Bedugul), dan Tarida Simanjuntak (Guru Sekolah Hutan Mentawai)

Kata orang bijak, hidup manusia dinilai bukan dari seberapa sering menarik nafas, tetapi seberapa sering menahan nafas. Melihat para „Pahlawan MNCTV“ ini, kita jadi merasa hidup lebih berguna karena beberapa kali menahan nafas, berdecak kagum. Dengan segala keterbatasan, mereka menjadi pahlawan untuk sekitarnya. Tidak mengejar materi, tidak memburu popularitas.

Ita Yuliana Adu, warga Mata Air Kupang, tak mau larut dalam air mata melihat kemiskinan desanya. 17 tahun lalu, di usinya yang ke-21, Ita kehilangan bayi yang meninggal karena kurang gizi. Padahal desanya Cuma 20 kilometer dari ibukota NTT. Pendidikannya yang tidak tamat SD tak membuat Ita takluk. Ia belajar seadanya soal ASI dan merawat bayi. Tak mudah. Sama seperti “Pahlawan” lainnya, ia dicibir dan  ditolak. Perlahan, posyandu beralas tanah beratap rumbia itu diterima masyarakat, dan bisa menekan angka kematian bayi.

Para sosok terpilih itu menjadi oase di tengah gonjang-ganjing politik saling sandera, kepura2an berbungkus dekat dengan pemilih, dan upaya melambungkan citra. Ke-14 orang “Pahlawan utk Indonesia” ini adalah orang2 yg “meninggalkan dirinya sendiri dan berbuat banyak utk orang lain. “Selama ini mungkin kita sudah merasa begitu “hebat” dgn apa yg kita lakukan, bermegah diri karena orang melihat “keberhasilan” kita. Tetapi ada orang “diluar sana” yg melakukan hal-hal luar biasa, namun tidak pernah terlihat, bahkan apa yang mereka lakukan bukan dari kelebihan mereka, tapi dari keterbatasan yang mereka miliki”, kata Anne Avantie, disainer kebaya yang menjadi salah satu juri. Anne yang menjadi juri bersama Marco Kusumawijaya, Imam Prasodjo, dan Syafii Ma’arif mengaku sering menangis saat mewawancarai “Pahlawan” yang disebutnya sebagai orang-orang pilihan Tuhan.

“Ketika akan pulang saya menanyakan pada mereka apa yg mereka butuhkan untuk meningkatkan pengabdian?”, kata Avantie. Dengarlah jawaban yang menguras air mata: “Ibu, saya ingin membawa pulang telur bulat. Karena anak-anak belum pernah lihat bentuk telur bulat, mereka hanya melihat batu yg bulat”. Duh..!!

admin

Recent Posts

Menikmati Surga Pesepeda di Utrecht

PEREMPUAN jelita itu berdiri dari bangku kafe di pinggir kanal. Melihat gaya serta tas kulit…

3 bulan ago

ADA KORTING DEKAT BIOSKOP

Begitu memasuki hotel, aku disambut receptie yang ramah menyapa. Mungkin kata ini yang diserap menjadi resepsi…

3 bulan ago

Membunuh Mental Sukanta

Tergopoh Sukanta bergerak dari kursi, begitu mendengar suara sepatu di seret. Malang, karena ia awalnya…

2 tahun ago

Bima Dibela Bima Dicela

Dari segelintir unggahannya, Bima rajin menggunakan kata-kata bombastis. Gubernur dajjal, megawati janda, soekarno mampus, orang…

2 tahun ago

Bagaimana Mencipta Nama Baik

Melakukan tindakan preventif yang bisa membuat pihak lain terhindar dari kecelakaan, adalah perbuatan baik. Seperti…

2 tahun ago

This website uses cookies.