SEPI. Bukan karena kawasan SCBD ini sudah ditertibkan. Tapi foto ini diambil 21 Juni 2019, jauh sebelum kawasan ini mendapat nama Citayam Fashion Week. Kala itu aku dan istri datang ke Terowongan Kendal yang baru saja diresmikan. Ada pemusik tentara British Army tampil di kawasan yang dijadikan ruang publik pejalan kaki. Korsik ini akan tampil keseokan harinya di perayaan Queen Birthday Party, harlah Ratu Elizabeth ke-93.
Terowongan Kendal padat. Selain menonton musik militer juga ada pameran dan aksi corat coret graffiti. Penonton berbaur dengan penumpang MRT yang pintu keluarnya dekat terowongan. Ada juga yang geret2 koper sekeluar stasiun BNI City. Tak ada anak Citayam.
Kami berfoto karena senang disini ada trotoar luas, arus kendaraan terbatas, dan penyeberangan tanpa harus susah-susah naik jembatan. Cara kami melihat ruang publik agak berubah setelah sempat setahun bermukim di Negeri Seberang. Ketika ada wacana membangun JPO membelah Jalan Margonda menghubungkan gang Kober dan gang Sawo (menuju Kampus UI), aku protes saat bersua Walikota Depok. Juga lewat sosial media. Penyeberangan khan bisa lewat zebra cross, yang dikawal dengan lampu pengatur. Ini karena kasihan sama engkong Haji yang suka memikul belimbing menuju Pasar Minggu.
Mewujudkan penyeberangan sistem zebra cross tak mudah. Jangankan nun di Margonda, ketika Gubernur Anies Baswedan memindahkan penyeberangan dari JPO ke jalan raya, ia dihujani kritik. Sayangnya pemindahan itu pun sesaat, sambil menunggu perbaikan jembatan yang kemudian menjadi JPO instagramable. Sebutlah JPO Tanpa Atap, Phinisi, CSW, GBK, hingga ke Senen dan Lenteng Agung. Yang masih tersisa penyeberangan berbagi dengan mobil dan motor ada di Dukuh Atas, HI, dan BI. Selain dikawal lampu merah juga ada petugas disana. Di beberapa zebra cross yang dilengkapi lampu merah sekalipun, pengguna jalan tetap terancam karena pengendara yang arogan. Tak terkecuali di jalan yang melingkupi Kantor Gubernur di sisi jalan Kebon Sirih dan sisi jalan Medan Merdeka Selatan.
Nah disinilah istimewanya anak-anak Citayam dan Bojonggede. Mereka memanfaatkan hak sebagai pengguna jalan. Bukankah masyarakat berbudaya itu ditandai dengan kebiasaan yang teratur di muka publik, seperti menyeberang di tempatnya, turun naik di halte, jalan di trotoar.
Lalu berdatanganlah orang2 dari berbagai kalangan memanfaatkan sepenggal jalan itu. Padahal zebra cross ada di banyak tempat. Mestinya sosialita itu memanfaatkan saja penyeberangan di jalan penghubung Sency dan Plaza Senayan, atau antara Pacific Place dan BEI, yang merupakan lokasi nongkrong mereka. Seperti layaknya menyeberang di Champs Elysees Paris, Oxford Street London, Shibuya Tokyo, juga Independence Avenue Washington.
Kini menyeberang di zebar cross disematkan embel2 Fashion Week. Sebutlah Tunjungan Fashion Week di Surabaya, Kesawan Fashion Week di Medan, dan Braga Fashion Week di Bandung. Menyeberang dengan tenang, merupakan sesuatu yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki. Tapi kita lupa memperjuangkannya, karena kita bagian dari pengguna kendaraan yang justru menganggap penyeberangan itu sebagai pengganggu perjalanan. Syukurlah anak-anak dari Citayam, mengajari kita semua.
PEREMPUAN jelita itu berdiri dari bangku kafe di pinggir kanal. Melihat gaya serta tas kulit…
Begitu memasuki hotel, aku disambut receptie yang ramah menyapa. Mungkin kata ini yang diserap menjadi resepsi…
Tergopoh Sukanta bergerak dari kursi, begitu mendengar suara sepatu di seret. Malang, karena ia awalnya…
Dari segelintir unggahannya, Bima rajin menggunakan kata-kata bombastis. Gubernur dajjal, megawati janda, soekarno mampus, orang…
Melakukan tindakan preventif yang bisa membuat pihak lain terhindar dari kecelakaan, adalah perbuatan baik. Seperti…
This website uses cookies.