Selepas solat subuh, kubuka tirai dan jendela. Membiarkan udara luar bebas memasuki kamar 304 tempatku dirawat sejak tadi malam.
Sapaan riang suster membuatku kaget. Tak menyangka sepagi ini sudah ada pemeriksaan. Tadi aku hanya wuduk, belum sikat gigi atau melap badan. Tak apa tokh mereka pakai penutup muka berlapis2.
Suster akan berganti shift. Jadi mereka perlu melaporkan kondisi umum pasien: tensi, suhu, dan saturasi oksigen.
Tak lama berselang, tim baru sudah datang. Membawa peralatan suntikan dan tabung. Ada juga cek EKG. Kabel2 dipasang di dada, pergelangan kaki, dan tangan. Lalu suntik anti mual, infus vitamin. Dan, yang aku takutkan tiba juga, ambil darah. Susternya ngajak ngobrol, ini agak sakit ya. Bukankah ini ambil darah saja. Iya, tapi di saluran arteri. Nusuknya agak dalam.
Janjinya terpenuhi, tapi bukan agak sakit melainkan sakit banget. Seluruh tangan mulai dari pangkal lengan hingga ujung jari linu. Ini untuk analisa gas darah (AGD), mengecek saturasi oksigen dalam darah. Untuk cara cepat, saturasi diukur menggunakan alat pulse oxymeter yang ditempel di jari. Tapi untuk akurasi tinggi, AGD ini caranya.
Ketika masuk tadi malam, saturasi-ku 90. Lalu pakai oksigen kembali ke angka 97-98, angka normal. Jika dilepas tapi tetap tiduran 92-93. Pergi ke toilet, lalu kembali ke tempat tidur 89-90. Ngos-ngosan. Harus buru2 pakai oksigen lagi baru bernafas tenang.
Jika kejadian turun ke 70, maka pasien membutuhkan ventilator, alat bantu pernafasan. Alat ini sangat sedikit. Sehingga kondisi pasien dijaga ketat agar saturasi tidak anjlok.
Jangan main2 dengan saturasi yang bisa berujung hipoksia ini. Aku pernah ikut Trail Run di perbukitan Sentul sejauh 21 Kilometer, juga pernah berlari menyusuri tanjakan Puncak dari Tajur hingga Melrimba sejauh 25 Kilometer. Kena Covid, ke toilet aja engap.
Tes darah juga dilakukan untuk mengecek C-Reactive Protein, CRP. Ini marker, penanda tingkat peradangan paru. Kata dokter CRP ku 10. Luasan bercak di paru, dicek dengan tes radiologi. Sepuluh hari di RSPAD, ada 3 kali AGD, dan 3 kali perekaman paru.
Oke, sesi pagi selesai. Makan dan minum obat. Vitamin, obat demam, anti virus, dan pelancar pernafasan. Selanjutnya istirahat. Aku membawa 3 buku. Sengaja tidak banyak, karena buku tidak boleh dibawa pulang. Aku bilang sama istri, Bagaimana pun aku tak pernah setuju dengan pemusnahan buku, menurutku jika tidak setuju ilmu harus dibalas dengan ilmu. Bukan dengan pemusnahan. Istri tertawa, jangan semua hal dipolitisir, dan kami tertawa di telepon.
Sesi sore lebih sedikit, hanya ada suntik vitamin, lalu infus vitamin C dan antibiotik. Nah, di hari kedua, pengambilan darah bermasalah. Aku sudah kesakitan, tau2 pindah ke titik lain. Karena aku buang muka, gak tau apa yang terjadi. Rupanya darah hanya keluar sedikit karena kental. Dokter internis datang. Terjadi hiperkoagulasi, pengentalan darah. Aku ingat nasihat dokter yang memintaku tak berhenti mengkonsumsi obat hipertensi. Aku berpotensi stroke karena lahir prematur. Gak nyangka khan badan sebesar ini dulu lahir segede botol kecap.
Solusinya, suntik pengencer 2 kali sehari.
Yang di perut ya Dok.
Kok tau.
Dulu istri saya pernah.
Ya pas kalau gitu, solider sama istri.
Jadi menu medical treatment bertambah. Karena tensi juga selalu di angka 150, tes darah untuk mengecek kolestrol jadi menu tambahan.
Tangan tempat infus, dan tempat ambil darah sudah membiru dimana2. Perut pun demikian. Perih. Tapi pengambilan darah tak berhenti. Tusuk lagi di tempat yang belum hilang rasa nyerinya, seperti kata Ebiet G Ade, kau buat luka baru di atas luka lama. Menghibur diri aku cuma bisa bilang, yang penting jangan sampai pakai ventilator. Silakan tusuk semaumu, Sus.
Untung ada kayu putih, selain untuk mengolesi dada, leher, dan hidung, juga untuk urut2 di bagian bekas suntikan.
Hari ke-3 di RS, selain menu rutin, sore hari ada tes swab. Ini tes ke-3 setelah 2 tes saat isolasi mandiri. Jika sebelumnya pengambilan sambil duduk, ini tetap tiduran. Kok lebih sakit ya. Transfusi plasma yang kedua juga dilakukan. Ini melanjutkan transfusi pertama yang dilakukan di RS Abdi Waluyo saat rawat jalan.
Hari ke-4, kabar gembira datang. Angka CRP yang semula 10 kini tinggal 2. Tetapi ke kamar mandi masih ngos2an walau sudah bisa lebih lama. Ah masih tes ke-3 kemarin positif rupanya. Tak apa tokh saturasi belum normal dan CPR masih 2. Jadi tak perlu buru2 pulang.
Tokh ketakutan gak akan bertemu keluarga selama isolasi sudah sirna. Kamarku ada di bagian paling ujung. Bisa menatap ke sebarang sungai dekat kantor KKP. Disitu ada SMA 4 jalan Batu. Jadi istri, Abang yang sengaja datang dari Bengkulu, Gotrek Khoiri, teman kantor, juga para sahabat bisa “tilik”. Jika di awal aku harus selang seling berdiri di jendela dan buru2 pakai oksigen beberapa saat, di hari ke-5 sudah bisa lebih lama dadah2 si jendela.
Oh iya tadi pagi karena iritasi aku minta infus dicabut dan dipindah. Karena baru akan digunakan sore hari, pemasangan bisa ditunda. Jadi sesiangan tanpa infus di tangan. Bisa mandi. Keramas dulu. Rambut sudah seperti gimbal gak mandi seminggu.
Perawatan RSPAD ini sangat efektif. Fokus menjaga kemungkinan terburuk, menjaga badan tetap bugar, dan mengatasi virus dengan obat minum. Saturasi, efek komorbid diawasi sedemikian.
Ahahaiii.. september sudah tiba. Pagi2 istri kirim video Vina Panduwinata menyanyikan lagu “September Ceria” disertai an foto2 lawas tentang liburan. Disertai doa segera sembuh supaya pergi liburan lagi. Mual yang sempat menyiksa nyaris tak bersisa. RS tidak ketat soal makanan. Meski ada jatah yang menunya dikawal ahli gizi, makanan dari luar diizinkan masuk. Makan lancar, saturasi semakin baik sehingga ketergantungan pada oksigen mulai berkurang.
Tapi menu rutin, EKG, suntik perut, infus tetap berjalan. Obat2an terutama anti virus jumlahnya terus dikurangi. Awal masuk ada jenis obat yang sekali minum 8 butir. Sekarang jadi 1 butir saja.
Rabu sore kembali swab. Bagiku tak penting lagi status positif atau negatif, dibanding rasa khawatir diserang hipoksia, gagal nafas akibat saturasi oksigen turun drastis.
Satu lagi masalah baru belum juga teratasi. 8 hari di RS belum ke belakang. Bukan tidak mau, tapi karena berlama-lama di toilet takut engap. Akibatnya ketika nafas sudah oke seperti hari ke-8 ini, selalu saja gagal. Obat pencahar sudah diberikan. Tadi siang aku pesan pecel sama tempe bacem, juga buah naga dan pepaya. Ya kalau gak menolong untuk ke belakang, siapa tau tempe bacem berpengaruh sama hasil swab. Abaikan, karena ini tidak ada evidence based medicine sama sekali. Masak hanya gara2 hasil swab negatif sehabis makan bacem lalu membuat testimoni yang mempercepat negatif adalah bacem sih. Bercanda.
Sudah 9 hari di kamar 304 ini. Buku sudah habis. Televisi gambarnya burem. Tidur sudah kebanyakan. Tiduran menatap langit2. Malam itu kabar gembira tiba, tes usap swab tadi sore negatif. Alhamdulillah… ini 1 langkah maju. Hari ke-23 setelah demam, hari ke-17 setelah dinyatakan positif, sekarang negatif.
Tidur rasanya lebih nyenyak. Membayangkan pulang. Pagi-pagi setelah yang rutin EKG, suntik perut, suntik anti mual, ambil darah, lanjut dengan tes radiologi. Hasil ini akan dibaca dokter paru. Sebelum makan siang dokter datang. Katanya, kalau mau pulang sudah boleh. Dokter lalu menjelaskan kondisi kesehatan terkini. Dokter berpesan, meski sudah negatif tetapi harus tetap isolasi meski sudah tak seketat saat berstatus positif sebelum masuk RS. 2 pekan lagi (tanggal 17 september) kembali ke RS untuk swab ke-5, radiologi dan cek saturasi.
Jika semua berjalan baik, maka tanggal 21 september sudah bisa kembali berkegiatan seperti semula.
Sebulan lebih diombang ambing sakit dan bosan, bukan perkara mudah. Jasad renik Corona yang ukurannya sepersekian debu itu bisa mengubah kehidupan manusia. Mengurangi kebebasannya, membolak balik rasa sakitnya, dan mengatur pola hidupnya.
Penanganan Covid ini membutuhkan kerja semua pihak. Masalah ekonomi bukan hanya IHSG dan angka pertumbuhan, tetapi mereka yang secara ekonomi tidak memadai akan sulit mendapatkan testing dan tracing. Harga swab tidak murah. Pemerintah sebagai entitas terbesar dan punya kuasa harus jemput bola. Jika tidak, banyak yang akan memilih diam berpura-pura menganggap sebagai demam biasa. Belum lagi jika statusnya OTG.
Padahal testing, tracing kontak, lalu mengisolasi pasien adalah cara menekan penyebaran. Transportasi pasien terinfeksi ke fasilitas kesehatan dan isolasi termasuk yang harus dipikirkan. Dengan alasan cari murah pasien bisa memilih angkutan publik, yang artinya ia berbaur dengan warga.
Banyak juga kasus, OTG lalu isolasi saja tanpa lapor ke dokter, tiba-tiba berbalik. Ketika keadaan sudah gawat, tiba di RS kondisi sudah kasip, terlambat penanganan. Saya, dengan pengalaman dari yang OTG lalu berubah drastis jadi dirawat, menjadi penganjur lapor ke dokter. Tentu saja, model jaring pengaman agar pasien punya akses ke fasilitas ini, tidak hanya di Jakarta saja, tetapi wajib berjalan serupa di seluruh Indonesia.
Pandemi telaah mengubah wajah dunia.
Dan, aku ada dalam lingkarannya.
PEREMPUAN jelita itu berdiri dari bangku kafe di pinggir kanal. Melihat gaya serta tas kulit…
Begitu memasuki hotel, aku disambut receptie yang ramah menyapa. Mungkin kata ini yang diserap menjadi resepsi…
Tergopoh Sukanta bergerak dari kursi, begitu mendengar suara sepatu di seret. Malang, karena ia awalnya…
Dari segelintir unggahannya, Bima rajin menggunakan kata-kata bombastis. Gubernur dajjal, megawati janda, soekarno mampus, orang…
Melakukan tindakan preventif yang bisa membuat pihak lain terhindar dari kecelakaan, adalah perbuatan baik. Seperti…
This website uses cookies.