Bendera merah putih di gedung KKP berkibar diterpa mentari pagi. Bendera dan aliran sungai yang membelah antara Paviliun Soehardo Kerto Hoesodo dengan gedung KKP menjadi pemandangan harian sejak Rabu 26 Agustus lalu. Malamnya aku masuk ke kamar 304, ruang isolasi covid-19 ini untuk pemantauan.
Tepat di hari Kemerdekaan 17 Agustus 2020, aku dijajah virus Corona. Ceritanya, awal pekan terasa pegal2 layaknya masuk angin. Biasa diikuti pusing sedikit. Tapi masih bisa ngantor seperti biasa hingga Jumat. Sabtu setelah istirahat seharian, dipijit istri, makan hangat kondisi tidak membaik. Maka untuk jaga-jaga, Minggu ke RS Abdi Waluyo di Menteng untuk swab mandiri. Selama ini aku rutin berobat kesini.
Nah lho, positif. Sudah jangan berdebat kena dimana. Itu bisa simpati bisa juga tuduhan salah menjalankan protokol. Aku hanya aktivitas rumah kantor, tidak naik angkutan umum sejak Maret, dan bawa makanan sendiri. Mari fokus memgatasi virus tidak meluas secara pribadi, keluarga maupun teman.
Kembali ke dokter untuk radiologi paru, dan testing buat istri. Lalu ambil obat yang dominan obat demam dan vitamin. Ada obat paru karena hasil radiologi mulai muncul bercak putih di paru. Kiriman mpon2, herbal, kayu putih berdatangan. Juga buah, buku sebagai persiapan isolasi mandiri. Pemenjaraan akan dilakukan di rumah saja karena ada fasilitas yang tidak mengganggu penghuni lain.
Rabu demam turun. Tanda-tanda fisik memulih. Olahraga ringan dan berkebun sambil berjemur pagi. Kamis semakin menguat. Istri negatif swab, teman2 yang sempat kontak di kantor ada 5 reaktif test rapid, lanjut swab dan Alhamdullilah negatif.
Jumat siang, keadaan berubah drastis. Asam lambung menggila. Perut perih, mual, berujung pusing banget yang lebih parah dari awal demam. Makan yang semula lezat tiada beda tak lagi bisa masuk. Satu2nya yang bisa masuk roti marie dan nasi putih.
Malam menjadi petaka. Tak terlelap sepicing pun. Pusing, mual bikin mata tak bisa kompromi. Obat lambung bermasukan, yang farmatif hingga herbal. Kondisi berlanjut hingga Minggu. Sdh 2 hari 2 malam tidak tidur. Kalau sdh begini kayu putih dan mpon2 sudah tak mampu lagi ya teman.
Minggu kembali ke dokter untuk swab, sekalian konsul pencernaan. Apakah ini terkait obat paru yang tidak diimbangi obat pencernaan?
Infus obat demam, obat mual, Vitamin C. Lega sesaat, kembali ke Depok lagi. Bisa tidur beberapa jam, dan malam menegangkan kembali berlanjut. Detak jam jadi siksaaan, seolah pagi bisa jadi obat.
Senin test ke-2 keluar, masih positif. Sudah feeling, mengingat jelang test malah demam lagi dan imun turun. Langsung ke dokter, radiologi. Hasilnya bercak putih meluas. Nafas mulai berat, tarikan semakin dalam. Alat pulse oxymeter untuk mengukur saturasi oksigen yang dibeli kemarin menunjukkan angka maksimal hanya di angka 93-94. Padahal kata dokter normalnya 98.
Dokter anjurin dirawat. Tapi aku masih minta atasi dulu demam sama mual. Infus lagi. Demam ditambah menggigil. Tapi efek obat dan buru2 masuk selimut membuat mata mulai banyak terpejam.
3 malam tak lelap, terasa halu. Tubuh seperti ada 2, yang tiada henti berdebat, antara menyuruh tidur dan melarang, memaksa makan dan ingin memuntahkan, dan hal2 polemik lainnya. Ya
Allah ampuni aku jika selama ini dalam menjalankan tugas jurnalistik “mempertentangkan” pendapat banyak orang ternyata ada yg tersakiti. Ahli prana menghibur, cakramu merah, karena stres gak tidur dan takut sakit. Santai.
Selasa setelah sarapan teh panas dan bubur ayam, ditambah utang tidur, lelap kembali. Disinilah kehebohan bermula, aku seperti hilang kontak dengan sekitar. Semua panik. Tidak biasanya seorang Latief loss info seperti ini.
Kantor akan mengirim ambulan dan harus evakuasi ke RS segera. Beberapa teman anggap situasi mengkhawatirkan. Aku terbangun jelang siang. Kaget melihat deretan miskol dan pesan.
Direktur Layanan Medik RSPAD, Brigjen Nyoto meyakinkan istri bahwa semua kamar dan layanan sudah siap. Segera evakuasi. Teman2 Dispen AD koordinasi dengan tim dari kantor sudah standbye di beberapa lokasi.
Titik temu diambil, aku kembali ke RS di Menteng. Khawatir kalau di rumah tetangga panik. Di RS Abdi Waluyo ditangani mulai pukul 14. Ambulan RSPAD tiba sejam kemudian. Tetapi penanganan berlarut, hingga pukul 22 baru sertijab ke RSPAD bisa berjalan.
Nyaris tengah malam tiba di Paviliun Soehardo. Rangkaian tes segera berjalan. Oksigen tak boleh lepas. Radiologi lagi. EKG, cek darah lengkap, infus obat dan segala vitamin. Cek komorbid, yang bisa aku akui hanya hipertensi dan kolestrol.
Tingkat infeksi paru ada di angka 10 (jangan tanya apa itu, yang jelas pelari 21K ke toilet saja ngos2an dan harus buru2 pasang oksigen), ambil
darah hanya mengalir sedikit dan kental. Suntik pengencer pagi sore pun dimulai, atasi potensi stroke. Perut, pergelangan, lipatan siku sudah biru semua untuk ambil darah, dan jalur infus.
Perih. Tapi itu tak semua bikin aku kalah. Termasuk tak tidur 3,5 hari aku kuat. Tapi aku gak kuat membaca pesan perhatian dan doa keluarga, teman2 semua. Itu bikin mbrebis mili. Di malam yang sepi aku diingatkan, jangan pernah berhenti berbuat baik, karena
Allah yang Maha Pengatur tau kapan itu semua akan berbalik menemuimu.
Terima Kasih Ya
Allah, banyak sekali yang sayang sama aku.