Perbincangan berteman kopi, jagung rebus, dan pisang rebus semakin gayeng. Ditemani udara sejuk kaki gunung Pangrango, dialog lancar sambung menyambung.
“Tadi saya lihat ada kebun dekat gapura. Berapa semeter, Mang”
“Pinggir jalan yang ada kebunnya 300 pak”
“Wah mahal ya, padahal jauh dari Jakarta”
“Kalo bapak gak ambil, lima bulan lagi saya yang ambil lho nanti”
Wooowww.. aku kaget. Jumlah 1/2 milyar bisa dibayar petani kampung dalam waktu 5 bulan.
Aku kira itu becandaan pagi hari belaka. Tapi lihatlah kebun dengan metode green house yang terhampar di pinggiran desa. GH seluas 200 meter, bisa ditanami 1000 polybag. Secara kasar, untuk melon, biaya 1 pohon Rp 25 ribu untuk bibit dan pengerjaan selama 7 bulan. 2 kali panen setiap pohon menghasilkan 2 kilogram. Jika harga bagus, keuntungan per pohon 45 sampai 50 ribu.
Hitung saja, itu baru untuk luasan 200 meter. Jika punya 5 green house, kalikan saja.
Mang Uden, petani sekaligus didapuk jadi ketua Kelompok Tani Gede Harapan, lancar bercerita seluk beluk pertanian. Dulu dia petani sambil lalu, menanam cabai dan tomat. Jika ada order mengantar peneliti atau penyuka alam naik gunung di kampungnya, pertanian ia tinggal.
Sampailah sekitar 5 tahun lalu, sebuah perusahaan yang mengambil air bersih di dekat desanya, menyalurkan dana CSR untuk meningkatkan kapasitas pertanian. Adalah Karya Masyarakat Mandiri (KMM), underbow Dompet Dhuafa menjadi pendamping petani memanfaatkan CSR tersebut. Mang Uden terpilih. Ahli pertanian KMM, mengajarkan sistem baru pertanian menggunakan green house. Bibit dipilih yang terbaik. Petani naik kelas, menandur tanaman yang tak pernah mereka kenal, seperti paprika. Hasilnya, terlihat dari kondisi rumah dan kendaraan warga saat ini.
Petani tidak hanya bertanam, mereka juga diajari pengemasan. KMM mencarikan pembeli, memotong rantai penjualan yangg selama ini dikuasai tengkulak. Gaya hidup sehat, mulai dari sistem tanam organik hingga jualan kesegaran karena dipetik di hari yang sama, ikut melengkapi pertanian yang naik kelas.
Nah, kalau begini, gak heran petani “nyombong” bisa membeli tanah seharga ratusan juta rupiah. Mau pensiun jadi petani, tentu bukan harapan yang muluk-muluk.