Dari segelintir unggahannya, Bima rajin menggunakan kata-kata bombastis. Gubernur dajjal, megawati janda, soekarno mampus, orang Indonesia kroco. Deretan kata yang jauh dari sopan santun.
Ngelunjak, star syndrome, silau oleh lampu sorot, dapat panggung kepagian, itulah sebagian deretan kata yang ditujukan kepada Bima Yudo Saputra, tiktoker yang tenar karena mengeritik kampungnya, Lampung. Tudingan itu muncul setelah Bima muncul dengan konten melecehkan Megawati, Presiden ke-3 dengan sebutan janda.
Benarkah ia ngelunjak karena mendapat atensi netizen dan media. Aku bukan pengguna tiktok, jadi tau isi unggahan Bima hanya dari berita dan platform sosmed lain. Dari segelintir unggahannya, Bima rajin menggunakan kata-kata bombastis. Gubernur dajjal, megawati janda, soekarno mampus, orang Indonesia kroco. Deretan kata yang jauh dari sopan santun.
Nadanya sebangun, menghakimi, dan sinis. Satu lagi, ini “anak haram” sosial media: merasa berhak, merasa sejajar. Untuk kasus penguasa Lampung, konten yang melejitkan nama Bima, kita mendadak alpa dengan ukuran kesantunan karena suara kritisnya mengeritik penguasa, mewakili perasaan publik yang resah. Semacam katalisator penyalur sikap kritis.
Apalagi kemudian diikuti dengan fakta bahwa penguasa lampung pamer kemewahan, membuat ironi semakin lengkap. Narasi tidak sopan terlupakan. Lihatlah ketika diwawancara media Bapaknya bilang, lebih baik mana sopan tapi korupsi, kita sambut dengan tempik sorak prok prok yang gempita. Kita memaklumi cara penyampaian yang kurang pas, karena substansi isi kritiknya pas.
Hingga sampailah pada unggahan berikutnya, mengeritik sikap partai. Lihat kata-katanya, “lu bukan siapa2 eneng, ngaca.. bokap lu sudah mampus”
Anjay presiden ke-3, ketua umum partai pemenang pemilu disapa eneng. Tonenya sama dengan gubernur dajjal, songong, merasa egaliter, blaming.
Jika untuk kasus korupsi dan layanan publik, bloknya hitam putih. Anti dan pro korupsi. Siapa pula publik yang membela korupsi kalau bukan kebagian uang korup. Beda dengan pernyataan kritik politik, banyak unsur abu-abu. Tidak hanya suka dan tidak suka.
Pemilihan tema yang renyah dan penyampaian yang nyinyir memang menjadi kekuatan narasi sosial media. Anak-anak muda bisa lebih didengar ketimbang tokoh ternama, karena kesesuain pasar. Memang nyinyir dan kritis beda tipis, tapi outputnya sama, mengganggu kenyamanan penguasa. Pihak yang memang harus diawasi, karena mereka digaji dan menggunakan uang pajak.
Tetapi nyinyir belum tentu kritis. Nyinyir cukup melepas narasi yang cocok dengan perasaan publik, sedangkan kritis lengkap dengan data. Acap kali kekuatan sosial media menggugah perasaan publik, baru diikuti data yang serius oleh akademisi, analis, dan media mainstream. Jadi keduanya saling melengkapi, makanya sosmed juga harus menjaga kesantunan.
Sayangnya di era sosial media yang massif ini kita suka selective belief, mempercayai hal yang kita sukai saja.. Atau confirmation bias, mengamini atau membenarkan suatu hal yang sejalan dengan pikiran dan keyakinan. Ini kemudian membuat kebenaran menjadi semu, karena bergantung pada algoritma.
Kembali ke Bima. Substansi pesan dan pilihannya untuk kritis terhadap kepentingan publik, sangat baik. Sehingga kritikan (termasuk tulisan ini) kepada cara penyampaiannya, bukan pembungkaman. Mengingatkan Bima bahwa dipuji dan dicaci, dibela dan dicela kerap bersilih dalam waktu yang sangat singkat.
***