Latief Siregar
Wartawan Senior iNews
DARI Anthony Ginting Sinisuka kita belajar, kerja keras, terluka, belum tentu akan berbuah manis. Tetapi perjuangan itu harus dijalankan.
Ginting yang bermain di partai pembuka membuka asa dengan memenangi set pertama atas pebulutangkis China, Shi Yuqi. Ginting, rangking 12 dunia, bisa memaksa Shi, rangking 2 dunia, bermain rubber game.
Set ketiga Ginting menghentak dengan melaju ke poin 17, meninggalkan Shi 4 angka. Di sinilah petaka bermula. Ginting berjalan tertatih, memegangi paha yang kram. Dia bahkan sempat keluar lapangan, berguling di pinggir lapangan, hingga akhirnya meninggalkan arena dengan brankar. Kalah.
Luka dan kegetiran memang akrab dengan atlet. Defia Rosmaniar, peraih emas pertama untuk kontingen Indonesia bercerita, dia latihan 6,5 jam per hari.
Atlet Taekwondo itu bahkan melewatkan pemakaman ayahnya yang wafat di Bogor karena sedang berlatih nun jauh di Korea Selatan. Tak heran, dia memandang merah putih dengan mata berurai bersamaan dengan kumandang Indonesia Raya.
Begitulah, keringat, air mata, terkadang darah menjadi pengantar atlet ke puncak karier. Penonton yang hanya melihat ujung, kagum mungkin juga iri melihat sang atlet bergelimang penghargaan dan uang.
Judy Murray, ibu petenis Andy Murray bercerita bagaimana kepahitan yang dia dan anaknya alami. Pada 2005 petenis Britania Raya itu bermain di arena bergengsi Wimbledon.
Judy menjawab kekaguman terhadap anaknya dengan menceritakan keringat dan airmata yang mereka teteskan. Andy berlatih seperti serdadu, kata Judy. Remaja berusia 14 tahun harus pindah ke Barcelona lalu ke Amerika untuk mendapatkan pelatih yang tepat.
Tak ada yang instan dalam sukses yang sejati. Sukses sejati memerlukan pengorbanan besar, kekuatan fisik, serta kesabaran panjang.
Bukan sukses semu yang diraih dalam waktu singkat dengan balutan pencitraan hasil besutan konsultan. Bukan pula sukses yang direngkuh di media sosial, di mana setiap orang bisa mendadak menjadi ahli apa saja.
Tentu saja banyak yang berkiprah di dunia politik dengan jalan berkeringat dan berdarah. Membangun basis-basis massa, menggerakkan modal sosial, serta memberi pendidikan politik.
Perhelatan Asian Games yang bersamaan dengan persiapan pemilu serentak, semoga bukan kebetulan semata. Politik dan olahraga sama-sama memiliki semangat membangun kemanusiaan. Jangan semua hal dipolitisir, termasuk kegiatan dan keberhasilan di arena olahraga.
Politik juga perlu mengedepankan sportivitas dan solidaritas yang kita pelajari dari Ginting, Defia, Khoiful Mukhib, Tiara Andini Prastika, Eko Yuli Irawan, Lindswell Kwok, Japro Megaranto, dan 930 atlet Indonesia lainnya.
Seperti kata Via Valen:
Kalau menang berprestasi,
Kalau kalah jangan frustrasi,
Kalah menang solidaritas,
Kita galang sportivitas.*
Dikutip dari arikel asli: https://www.inews.id/sport/read/223657/belajar-dari-suka-duka-ginting-sinisuka