Beranda » Advokat juga Manusia
AKSARA

Advokat juga Manusia

OJEK yang ditumpangi pegawai Mahkamah Agung itu melesat ke arah Monas. Perjalanan ke kawasan gedung MA berada itu tak mulus. Bukan karena kemacetan, sebab ojek anti dengan namanya macet. Sekelompok pegawai KPK menghalangi perjalanan itu. Djodi Supratman, pegawai Diklat MA tak berkutik. Di tas selempangnya, ada uang yang tak sedikit.

KPK lalu bergerak ke  arah sumber uang. Mata airnya ada di kantor pengacara nyohor, Hotma Sitompul. Keponakan Hotma, Mario Bernando ikut dicokok. Dan digelandang ke kantor Anti Rasuah. Publik pun geger. Asal muasal kedua pelaku, punya news value tinggi. Pemilik kantor, Hotma Sitompul, sudah malang melintang di dunia pembelaan kasus korupsi. Saat ini ia menangani korupsi simulator dengan terdakwa Irjen Djoko Susilo.

Pihaknya mati-matian membantah, bahwa kasus Mario tidak berkait sama sekali dengan kasus simulator. Tidak juga dengan tulang si Mario, Hotma Sitompul. “Ini sindrom Srimulat, meski kerja segrup pemain boleh main tunggal”, kata Tommy Sihotang, pengacara Mario. Srimulat adalah grup lawak yang memiliki banyak anggota, dan beberapa pentolannya main diluar sebagai pribadi.

Tommy juga membela kliennya dari segi jumlah uang yang disita. Sebagai pengacara senior, ia tahu belaka, uang segitu bukan kelas Hakim Agung. “Bisa jadi itu hanya THR untuk pegawai MA”, kata Tommy setengah bergurau, di diskusi Polemik Sindo TrijayaFM.

Baca juga:   Kembali ke 25 Tahun Silam

Ini bukan permainan baru, bahkan Wamen Hukum Denny Indrayana, pernah menyebut: “Advokat koruptor adalah koruptor itu sendiri, karena menerima bayaran dari hasil korupsi”. Untuk pernyataan yang menghantam korps advokat itu, Denny mendapat bantingan balik, disebut sebagai “penjaga mesjid”.

Memang, Mario tak sendirian. Sejak KPK berdiri sudah enam pengacara yang diterungku karena menyuap aparat hukum. MA juga bukan pertama kali jadi sasaran investigator KPK. 2005 silam, advokat Harini Wijoso ditangkap di lingkungan gedung MA, bersama beberapa staf MA yang mengaku bisa membuka akses langsung ke Ketua MA, yang kala itu dijabat Bagir Manan.

Inilah yang membuat advokat cum aktivis anti korupsi Taufik Basari, menyebut hukum masih menjadi alat transaksi. “Advokat menjadi mata rantai aktor mafia peradilan, selain polisi, jaksa, dan hakim,” kata Tobas. Tentu saja di lingkaran itu ada peranan markus a.k.a makelar kasus, pemain yang sekaligus bisa berperan menjadi penyelamat tokoh utama, dengan menjadi korban.

Baca juga:   Orang Kota Belajar dari Anak Citayam

Dibanding aktor lain dalam mata rantai itu, posisi advokat memang paling lemah. Aktor lain, jaksa, polisi, dan hakim memiliki kekuasaan, menentukan arah dan hasil perkara. Inilah yang memaksa advokat memutar otak, agar memenangkan perkara. Termasuk memberi THR, jika betul Mario menyuap untuk itu. “Pernah juga diminta uang fotocopy. Bukan 20 ribu, 200 ribu, tetapi 50 juta. Mesin fotocopy pun terbeli”, kata Nudirman Munir, anggota dewan, dari kalangan advokat menceritakan pengalaman.

Hakim Agung lebih istimewa lagi. Putusan mereka hanya 2: Tolak dan Kabul. Menolak itu absolut, sedangkan mengabulkan relative. Tergantung banyak faktor, salah satunya uang. Celah inilah yang dimanfaatkan pengacara. “Saya menyukai sidang yang fair, karena disitu saya bisa menumpahkan kemampuan beracara, dengan argumen2 hukum”, sambut Tommy Sihotang, yang meraih gelar master hukum di Sheffield, Inggris.

Tentu tidak semua pengacara berpikir seperti itu. Ada juga yang menjadikan akronim pengacara dari ‘penghasilan karena banyak acara’. Semakin banyak klien yang menginginkan urusan diluar ruang sidang, justru semakin menguntungkan. Tak heran komunitas advokat identik dengan mobil mewah dan barang-barang bermerk.

Baca juga:   Antara Agnes Mo, UAS, dan Dian Sastro

Tapi menempatkan kesalahan semata-mata ke pundah pengacara juga tidak adil. Mereka hanya memanfaatkan sistem yang korup. Akuntabilitas putusan yang tak kunjung terjadi, membuat posisi hakim yang menyandang sebutan mulia sebagai wakil tuhan di bumi, semakin tergerus makna. “Wajar, mereka khan wakil tuhan, masak dipilih wakil rakyat”, kata Asep Iriawan, hakim yang memilih pension dini, karena tak kuat dengan godaan.

Sistem yang korup itu pula yang membuat di kalangan advokat, ada istilah “hakim obat nyamuk”. Sepanjang karirnya, memutar di pengadilan2 basah. Sementara banyak hakim yang putusannya adil dan bernas justru ditempatkan di Daerah yang jauh dari kasus2 besar. Asep mencontohkan hakim Alberthina Ho, yang mendapat pujian pada sidang kasus pajak Gayus Tambunan, Jaksa Cirus Sinaga, dan Antasari Azhar yang “dibuang” ke Sungai Liat, Bangka Belitung.

Semua pihak harus berbenah. Ya advokat, ya hakim, ya jaksa. Jika tidak ada terobosan, maka ruang2 pencarian keadilan akan diisi oleh Ki Munajat, mereka yang memiliki sifat khianat, munafik, dan bejat. Nauzubillah minzalik.

TUKANG KOMBUR ON YOUTUBE

November 2024
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
252627282930