Tergopoh Sukanta bergerak dari kursi, begitu mendengar suara sepatu di seret. Malang, karena ia awalnya terkantuk, kakinya terpeleset. Ia pun mendarat di lantai. “Kamu kenapa, pura-pura mau kerja ya,” bentak Cecep tanpa kasihan.
Itulah sekelumit adegan “Preman Pensiun” program yang tayang di Ramadan di RCTI, dan tahun ini sudah memasuki sesi 8. Sukanta adalah pekerja di pabrik kecimpring Family, sedangkan Cecep atasannya, manajer operasional.
Sehari-hari hubungan Sukanta dan Cecep berjalan baik. Setiap Cecep tiba, Sukanta langsung ngapurancang menawarkan kopi. Tawaran yang juga disampaikan Sukanta kepada teman-teman Cecep seperti Murad dan Ujang yang rutin berkunjung. Sebelumnya tugas membuat kopi sudah berlaku sejak Kang Mus, pemilik kecimpiring belum menepi ke Garut membangun mesjid.
Sebuah peran yang membuat Sukanta seperti karyawan istimewa yang selalu disapa atasan dan berkesempatan masuk ruang kerja pimpinan. Padahal sehari-hari, Sukanta makhluk pemalas. Ia lebih banyak terkantuk-kantuk di kursi bambu saat pekerja yang lain berpanas-panas membalik jemuran kecimpring. Belum lagi pekerja bagian belakang, yang memarut singkong atau yang memasak adonan, yang terancam luka kena parutan atau terkena uap panas.
Karakter Sukanta umum di banyak kantor dan organisasi. Tidak berbuat banyak, tapi memiliki akses ke atasan sehingga dapat perhatian. Apalagi di era sosial media, ada yang berusaha terlihat si paling kerja dengan mengupload pekerjaan. Seolah-olah di pekerjaan tersebut, dia berperan banyak atau malah jadi inisiator.
Sayangnya, banyak pula atasan yang silau dengan pola-pola bekerja seperti ini. Hanya karena membuatkan kopi, sudah dianggap lebih berprestasi dibandingkan yang berkutat dengan parutan. Hanya karena yang bertugas memarut ada di belakang layar, dan tidak mau menonjolkan diri.
Karakter Sukanta harus dijauhi, karena tidak mencerminkan akhlak dalam bekerja. Pimpinan harus dihargai, tetapi bukan dijilat. Dengan sesama teman harus berhubungan baik, yang artinya tidak saling menjatuhkan untuk mengangkat diri. Kepada Allah, dalam bekerja itu harus qa naah, yaitu menerima, merasa cukup, sabar, dan ikhlas.
Karakter Sukanta juga tidak sehat bagi produktivitas, karena bisa melemahkan semangat pekerja yang tulus dan rajin. Maka ia harus dibunuh, dikubur dalam-dalam.