Beranda » Dimanakah Tuhan Anak Gembala
AKSARA

Dimanakah Tuhan Anak Gembala

Di mesjid gampang melihat kecerdasan spritual. Tetapi cobaan berat di lingkungan tertentu, katakanlah yang sedang hits  di lingkungan Kementerian Keuangan, pastilah mereka yang bisa tetap menunjukkan kecerdasan spritual sudah melewati beragam tantangan.

Sahabat Nabi yang menjadi khalifah kedua, Umar bin Khattab terkenal suka blusukan. Ia menyamar sedemikian, tanpa pengawalan, hingga rakyat yang ia temui tidak sadar sedang berhadapan dengan Khulafaur Rasyidin.

Suatu kali, Umar bertemu dengan anak gembala yang mengasuh ribuan domba. Umar memancing dengan berpura-pura mau membeli domba dengan harga mahal. Si gembala menolak karena ia hanya penggembala, bukan pemilik. Kata Umar, ini ada ribuan domba jika hilang 1 tidak akan dihitung majikanmu. Atau bisa juga bilang diterkam serigala.

Ustaz Jumharuddin LS MA

Diluar dugaan Umar, anak gembala menjawab, majikanku boleh saja tidak tau, tapi bagaimana dengan Allah? Dimanakah Allah? Jawaban yang membuat Umar terhenyak.  Ujiannya mengena. Tak hanya bagi anak gembala, tapi juga meresap ke hati Umar. Ia merenung, dimanakah Allah?

Pada dasarnya semua orang punya tuhan. Tuhan adalah tempat bergantung, sesuatu yang diandalkan. Tuhan disini bisa jabatan, bisa uang,  bisa pengaruh.  Tentu saja Tuhan Sang Pencipta Allah Azza wa Jalla adalah Tuhan tempat kembali.

Baca juga:   Belajar Politik Kotor dari Drakor

Semua orang akan kembali kepada Allah, tetapi berbeda-beda waktu sadarnya. Bahkan Firaun yang medapuk dirinya sebagai tuhan saja, pada akhirnya, ketika tenggelam di Laut Merah  saat mengejar Musa, akhirnya mengakui Tuhannya Musa sebagai Allah Maha Benar.

Dimanakah Tuhan? Jawaban guyonnya: di pojok. Karena semua yg terpojok pasti ingat Tuhan. Bagaimana caranya agar kita tak perlu terpojok baru ingat Allah? Kata Nabi umatku akan hidup 60-70 tahun. Di surat Al Ahqaf:15 disebutkan umur terbaik adalah 40. Secara mental sedang matang, sehingga karir pun stabil. Tetapi penyakit pun tanpa disadari mulai datang. Sebenarnya itulah  penanda, bersiaplah untuk pulang.

Jika kita plesir ke suatu tempat baru, selama 10 hari, maka hari-hari awal kita akan exiting menjelajah destinasi baru. Hari-hari ke depan rasa senang, kagum perlahan memudar. Hari ke-8 daya jelajah menurun berganti dengan kerinduan pulang. Jalan-jalan lebih banyak persiapan mencari oleh-oleh.

Baca juga:   Orang Kota Belajar dari Anak Citayam

Begitu pula hidup, setelah 2/3 perjalan semestinya sudah menyiapkan bekal untuk dibawa “pulang”. Allah mengingatkan lewat firman-NYA:

Harta, jabatan, dan keturunan adalah perhiasan dunia semata yang bisa lenyap kapan saja. Apa yang ada di sisi Allah di akhirat kelak, hanya untuk  mereka yang taat kepada-NYA (Al Qasas: 60)

Caranya mendekatkan diri kepada Allah. Bukan sekedar mengakui saja. Karena iblis pun meyakini Allah ada tetapi iblis sombong. Salah satu cara mengajari dekat dengan Allah adalah puasa.

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran. (Al-Baqarah: 186)

Anak gembala tadi menganggap Allah bukan hanya ada, tetapi dekat. Itulah kecerdasan spritual. Beribadah kepada Allah seolah2 itu membersamaimu dan mengawasimu. Beriman kepada yang gaib, karena tidak semua yg ada harus terlihat, dan semua yang tidak terlihat berarti tidak ada.

Baca juga:   Tahun Politik: Debat Noise atau Voice

Di mesjid gampang melihat kecerdasan spritual. Tetapi cobaan berat di lingkungan tertentu, katakanlah yang sedang hits  di lingkungan Kementerian Keuangan, pastilah mereka yang bisa tetap menunjukkan kecerdasan spritual sudah melewati beragam tantangan.

Menyadari Allah dekat akan membuat kita menjauhi perbuatan dosa. Anak gembala tadi seorang ndeso, berpendidikan rendah, status sosial bawah tetapi mengetahui esensi keberadaan Allah.

Ketika kita menyadari Allah dekat, akan menimbulkan ketenangan, dan menciptakan rasa aman. Hal ini sudah dicontohkan lewat kisah Musa dikejar Firaun, Ibrahim dibakar, dan persembunyian Muhammad di gua hira. Mereka bisa melewati halangan, bukan karena rasa aman secara fisik saja, tetapi ketenangan dari kalbu.

**
Disclaimer:

Disarikan dari ceramah Ustaz Jumharuddin LC MA yang disampaikan dalam Kajian Zuhur Ramadan mesjid Bimantara, 3 April 2023/ 12 Ramadan 1444.  Isi tulisan hasil pemahaman penulis.

 

TUKANG KOMBUR ON YOUTUBE

November 2024
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
252627282930