Mual yang diawali sendawa sudah makin berat ditandai muntah dan sulit makan. Pusing yang semula cuma cenat cenut, sudah mengganggu penglihatan dan oleng. Aku ingat mati.
Aku ingin bercerita tentang kematian.
Setiap mendapat kabar lelayu, aku selalu bertanya, apa yang membuatnya mati. Kalau kecelakaan, mikirnya gampang, kehabisan darah akibat luka, atau benturan yang merusak organ. Jika usia sudah sepuh, jawaban mudahnya: sakit tua. Sebuah jawaban seolah kalau sudah berumur, wajarlah.
Tetapi adakalanya yang kehilangan nyawa belum terlalu tua, tetapi sakit. Apakah organ kelelahan dimakan umur, atau rusak karena pola hidup? Hingga hari itu aku tak tahan lagi, mual dan pusing berhari-hari tak lenyap dihantam obat. Mual yang diawali sendawa sudah makin berat ditandai muntah dan sulit makan. Pusing yang cuma semula cenat cenut sudah mengganggu penglihatan dan oleng. Aku ingat mati.
Sambil menuju kantor, aku masih nyetir sendiri dan mampir di rumah sakit dekat kantor, Abdi Waluyo. Cek tensi, ohooo 180/130. Pantas pusingnya tak terperi. Tapi dokter dan stetoskopnya melihat lain, jangan-jangan tensi naik ini karena dipicu penyakit lain. Aku diminta USG perut mencari tau penyebab mual.
Mencari Penyakit
Aku masuk rumah sakit, terhitung dengan jari sebelah. Tahun 2005 pernah dirawat karena DBD, lalu 2020 masuk RS lagi, kali ini karena penyakit sejuta umat, covid. Selebihnya kartu asuransi tak terpakai. Rugi? Tentu tidak, karena lebih bersyukur tidak sakit. Untuk memaksimalkan dana tidur di asuransi, kami punya istilah: mari mencari penyakit.
Caranya, mengikuti anjuran dokter untuk melakukan pemeriksaan total, entah itu tes darah, USG, hingga MRI. Celakanya, itu justru membuka penyakit yang sejatinya belum bergejala.
Seperti kali ini, datang ke dokter karena mual dan pusing saja. Karena sudah berhari2 mengkonsumsi obat mual dan obat pusing tak usai, maka dokter ingin melihat lebih serius. Jadi aku harus rawat inap. Bukan, bukan karena kondisi parah, tetapi memudahkan koordinasi masuk lab dan bertemu dokter membaca hasil. Kebetulan, istri lagi di London, jadi di rumah juga sendirian. Ya sudah, mondok saja.
Begitu kena infus mual lenyap. Tetapi dokter curiga bukan sekedar urusan lambung pemicu mual. Masuk lab untuk USG perut. Ada sesuatu di kantong empedu, sebagai sumber penyakit. Belum dipastikan sehingga harus MRI. Alhamdulillah hanya radang, bukan batu yang membutuhkan operasi. Minum obat dan yang terpenting jaga asupan makanan.
Hanya semalam, infus distop. Mual sudah tertangani. Tapi pusing tidak berkurang. Malah makin parah. Dokter syaraf beraksi. Ada obat racikan penurun pusing. Cespleng. Setelah tekan sana sini, harus pengecekan lebih dalam karena obat penurun tensi tak membuat angka turun dari 160. Masuk lab lagi untuk MRI kepala. Sebetulnya sudah boleh pulang, tapi jadwal lab paling cepat pukul 23. Daripada terkantuk-kantuk di jalan, mending lanjut nginap.
Hasilnya, Alhamdulillah tidak ada sumbatan. Kemungkinan stroke kecil. Tetapi tensi yang konstan tinggi membuat beberapa bagian kecil syaraf mati. Ini penyebab lupa. Waspada, bisa memicu pikun. Lantas pusing itu darimana, kenapa intervalnya semakin pendek. Ada perubahan bentuk tulang leher, yang mendorong syaraf. Penyebabnya apalagi kalau bukan banyak menunduk. Sebelum aku bilang, karena banyak berzikir, dokter bilang fenomena ini banyak terjadi di era gadget. Akan diatasi dengan fisioterapi.
Ada satu lagi, penyakit sinus sudah sangat parah. Ini yang bikin pusing di mata, kening, dan kepala bagian atas. Hasil MRI bagian hidung menghitam, karena tumpukan lendir. Aku wanti-wanti, memasukkan kapas kecil untuk PCR saja aku kesakitan yang sangat. Rupanya tulang hidungku memang berbelok. Sementara sisi lain ada bengkak akibat sinus. Komplit. Kalau harus operasi aku pasrah, asal jangan merusak komposisi hidung yang membuat sebagian orang mengira aku orang Arab.
Oh iya, MRI ini benar-benar mencari penyakit. Satu lagi temuan MRI perut, ada pembesaran prostat. Sesuatu yang wajar terjadi di usia lolita, lolos lima puluh tahun. Tes tambahan, hanya pembesaran, tetapi tidak ada cancer marker. Jadi cukup mengkonsumsi obat, dan … jaga makanan.
3 malam mondok di RS, tak ada pemeriksaan lagi aku pulang. Dibekali belasan macam obat, aku tersadarkan, sudah tak muda lagi. Gak usah pecicilan, dan jaga makanan.