Menyusuri trotoar yang lega, melintasi pintu masuk stasiun MRT, sambil didahului bus gandeng yang berhenti rapi di halte. “Kita seperti di kota2 besar negara lainnya”, kata istriku
Aku kembali lagi ke Sarinah. Sarinah wajah baru. Setelah beberapa kali melintas dan melihat keramaian dari bagian luar, kali ini masuk ke dalam. Ada rasa rindu. Maklum, ini mall kesukaanku, selain Pasaraya di Blok M. Mall bapack2, kata istriku.
Aku naik ke lantai 6, tempat acara soft launching Distrik Seni berlangsung. Di bagian depan aku disambut seni instalasi ukuran jumbo. Lalu ada dinding bermotif kasur kapuk zaman baheula. Sebuah seni instalasi. Cerita tentang Sarinah bertebaran di banyak tempat, termasuk di areal Soekarno. Disini ada replika Patung Selamat Datang karya Edhi Sunarso.
Nama besar lainnya, ada pelukis Sunaryo, dan seniman kaligrafi AD Pirous. Juga pematung Dolorosa Sinaga yang memajang karya 5 rupa Sarinah. Seni keramik hadir dengan perupa F Widiyanto.
Kehadiran karya seni di tengah kota dan sebuah pusat belanja ini merupakan upaya mendekatkan senin dengan masyarakat. “Termasuk milenial,’ kata Luhut, temanku yang mengorganisir Distrik Seni. Kehadiran Klinik Rupa Doktor Rudolfo, sebuah sanggar maya buat penyuka seni lukis, mengentalkan sasaran “orang biasa” itu. KRDR dibesut anak muda, RE Hartanto lulusan ITB tahun 1998, ditujukan buat penyuka melukis sebagai hobby. Ada pula pojok, yang diwarnai grafiti lengkap dengan botol cat semprot tergeletak tak teratur.
Azan magrib bergema, aku pamit. “Parkir dimana,” tanya Luhut. Aku menyebut nama sebuah hotel, yang berjarak ratusan meter dari Sarinah. Ia lalu cerita banyak tamu yang telat karena macet antrian cari parkir. Perjalanan turun, aku susuri lantai demi lantai. Mengenang pojok tempat beli pakaian, termasuk bagian underwear yang selalu sedia model yang aku suka. Putih polos.
Aku lewati warga yang memandangi temaram malam Jakarta dari undakan di lokasi bekas resto cepat saji bermerk global. Menyusuri trotoar yang lega, melintasi pintu masuk stasiun MRT, sambil didahului bus gandeng yang berhenti rapi di halte. “Kita seperti di kota2 besar negara lainnya”, kata istriku.
Ketika dulu kami berkesempatan mengunjungi sejumlah negara, selalu bertanya kapan jalan protokol Jakarta dan kota-kota beIndesar lainnya di Indonesia bisa seperti Orchard Road Singapura, Champ Elysee Paris, Oxford Road London, juga Independen Avenue Washington.
Semoga kehadiran ruang publik berkesenian menjadi pembeda dan nilai lebih.