Malam ini penentuan juara Liga Inggris, City vs Aston Villa dan Liverpool vs Wolves. Fans klub entu mending tidur, udh ga ada harapan.
Itulah unggahan seorang Fans Liverpool — sebut saja namanya Gaib— yang acap kali dalam unggahannya mengejek MU. Klub _entu_ yang dia maksud pasti juga MU, karena dalam klasemen sebelum pertandingan ke-38 itu berada di posisi ke-7. Sementara, City yang memuncaki klasemen selisih 1 angka dengan Liverpool, harus menang tersebab kalau Liverpool menang, mahkota Premiere League akan melayang.
Sialan, pikirku dalam hati. Kalau gini caranya mending dukung City. Bagi anak MU, City adalah tetangga yang berisik, pesaing memperebutkan warna Manchester: Manchester is Red atau Manchester is Blue. Tetapi melihat gaya anak Liverpool songong gitu, mending doain City yang juara deh. Adagium enemy of my enemy is my friend, friend of my enemy is my enemy pun berlaku.
Camkan, di dunia olahraga yang rohnya adalah sportivitas saja rasa suka dan tidak suka itu sudah menggerogoti, apatahlagi di politik yang ekosistemnya memang bersaing saling menjatuhkan dengan menjilat dan iri dengki. Maka, tak heran ketika ada warga Indonesia diusir Singapura, banyak yang harusnya marah, justru bahagia mendengar Ustaz Somad diusir Singapura.
Karena apa? Pemihakan. Somad diposisikan ada di quadran oposisi, entah karena pendapat yang mana. Boleh jadi karena ia pernah mendukung Prabowo saat kontestasi melawan Jokowi, padahal Prabowo sekarang “sekolam” sama Jokowi.
Boleh jadi karena ia diposisikan di barisan kelompok yang mendukung Anies. Tak heran ketika Anies bertemu Menteri Singapura beberapa hari setelah insiden “not to land”, ada yang menulis: kasian Somad, bukannya dibela eh Anies malah ketemu dengan yang mengusir.
Jadi, kasus ini soal relasi tamu-tuan rumah, kedaulatan negara, Jokowi, atau soal elektabilitas Anies yang membuat gerah? Sudah enggak jelas, rasa suka dan benci membuat logika berputar-putar sekehendak pembuatnya. Saluran bicara yang banyak dan murah membuat siapa pun bisa mengatur logikanya sendiri.
Ketika Presiden menghadiri perhelatan akbar pimpinan ASEAN dan Amerika, acara penyambutan Jokowi menjadi heboh. Jokowi yang hanya disambut officer Amerika dan Dubes Indonesia, dituduh menghinakan kedaulatan. Tudingan semakin massif, karena disertai foto PM Singapura disambut Presiden Joe Biden.
Penjelasan otoritas bahwa penyambutan resmi oleh Kepala Negara tuan rumah hanya dilakukan jika sifat kunjungan bilateral, sedangkan untuk kejadian KTT yang multilateral, semua Kepala Negara disambut officer saja.
Tetapi laju informasi missleading content lebih cepat. Bersambung lagi dengan kejadian Elon Musk memakai t-shirt saat menerima Jokowi di kantor Space-X yang disandingkan dengan foto Elon Musk dengan jas ketika bertemu Presiden Erdogan di Istana Kepresidenan Turki. Bahwa data menunjukkan satu pertemuan di kantor Musk dan satunya lagi di istana negara, tak mengurangi kenyinyiran.
Inilah “rasa”. Perkembangan sosial media menciptakan polarisasi di segala bidang. Tak hanya politik, jagad sosmed sempat ramai soal sepatu boot. Lalu soal K-Pop yang membawa-bawa jabatan Kapolda dan tokoh partai. Itu semua merupakan kerja dari bagian otak yang mengatur rasa, emosi, takut yang bernama amigdala. Amigdala ini adalah bagian kecil di lobus temporal. Ada bagian otak lain, lobus frontal yang mengatur tentang pengetahuan, membuat manusia mampu membuat alasan, mampu untuk melakukan aktivitas atau bergerak, kognisi, mampu membuat perencanaan, mampu menyelesaikan masalah, memberikan penilaian, serta merangsang kreativitas.
Tetapi yang dipertontonkan hari-hari ini –juga nanti semakin parah mendekati Pemilu– adalah bagian rasa. Penelitian menunjukkan, di era sosial media, ukuran amigdala semakin membesar, pertanda makin sering digunakan.
Jika didasarkan pada perasaan suka dan tidak saja, coba sejenak bayangkan, jika Ganjar tak didukung Teuku Umar. Mau tetap dukung beliau? Bukannya pak Jokowi temannya Bu Mega. Lalu mau dukung Puan jika Puan berpasangan dengan Prabowo? Bagaimana pula dgn pendukung Prabowo yang residunya masih terus ada dengan memusuhi Jokowi yg didukung Partainya Puan?
Tuh rumidddd khan. Mungkin saja gak serumit drama Korea. Eh, talking about Korea, enak amat itu Opa Jesse yang mempersunting Maudy Ayunda.
Meski itulah rasa, aku cuma mau bilang, ah… teganya kau, Maudy..!!