Curah hujan luruh membasuh bumi. Kombinasi yang pas dengan suasana weekend, menghasilkan: mager.
Olahraga sudah, zoomeeting kosong, koran tamat, saatnya menikmati libur. Memandangi kemolekan Lee Elijah, yang bermain sebagai Nona Yun di serial Chief of Staff. Ini adalah drama korea berkisah tentang politik di DPR Korea. Yoon Hye-won staf anggota DPR, yang kemudian naik jadi Kepala Staf karena Kepala Staf terdahulu terpilih di pemilihan sela.
Yap.. aku menonton drakor. Ini adalah seri terlama aku betah mengikuti drakor. Biasanya 1 seri sudah pindah. Ini rekomendasi seorang teman, yang tau aku lebih memilih nonton film India ketimbang Korea. “Sebagai orang yang berkecimpung di pemberitaan politik, cobalah nonton Chief of Staff”, katanya mengajuk. Aku lalu membanding dengan Designated Survivor, kisah Presiden Amerika dadakan yang dimainkan Kiefer Sutherland. Katanya mirip, sama-sama berkisah tentang intrik politik. Aku pun penasaran.
“Salah satu yang kubuang ketika masuk politik, adalah rasa malu. Karena jika rasa malu itu tetap ada maka kau akan sulit berkembang,” kata Anggota Majelis Song Hee-seop kepada Kepala Stafnya, Jang tae-joon. Frasa “jangan punya malu jika hendak berpolitik” itu mengalir dalam plot demi plot. Intrik tiada henti, antar Anggota Majelis berebut posisi ketua, antar Kepala Staf masing-masing kantor yang ingin menunjukkan paling hebat melindungi bossnya, hingga dengan orang luar yang membeli kuasa. Pengusaha kotor yang ingin tetap terlindungi, atau pejabat pemerintah yang hendak mempertahankan posisi. Aparat hukum digunakan sebagai perpanjangan tangan meredam lawan, atau mengungkap borok.
Film ini membuka mata bagaimana kejamnya politik. Saling kunci, buka kartu, meski terkadang kompromi jika kepentingan lagi sama. Satu hal lagi, Kepala Staf –mungkin disini kita menyebutnya Stafsus–, hidupnya tak secemerlang yang kita lihat di luaran. Stafsus memang punya akses karena menempel petinggi, semobil, dan makan bersama di tempat mewah. Di balik ruangan, kata film ini, mereka dimaki, dilempar sepatu, minta maaf sampai buka baju, memijit kaki boss, bahkan ditonjok jika tak menyenangkan sang boss. Tapi Boss pun sesungguhnya menyimpan duka yang sama, tak luput dari amarah pemilik modal atau petinggi partai.
Tolong diingat, ini hanya film. Dan ini di Korea.
Tetapi film adalah rekaan atas kejadian yang pernah dilihat atau dialami. Maka layaknya kehidupan, ada hitam ada putih. Sesungguhnya Chief of Staff tak cuma mengajarkan politik kotor.
“Untuk sekali saja saya ingin berbuat baik,” kata Lee Gwi-dong, sopir Menteri Song yang memberikan daftar perjalanan bossnya selama jadi anggota dewan.
Lee yang baru saja dijanjikan Pak Song dibelikan rumah di Seoul untuk hadiah perkawinan anaknya, akhirnya membantu Anggota Jang dan Nona Kang. Mereka bersama-sama membongkar kasus korupsi yang berkelindan di trias politica plus pengusaha.
Politik tak semata pertunjukan panggung sandiwara, narasi pencitraan, baliho dimana-mana, atau deklarasi teman, sahabat entah apalag namanya. Ada Lee Seong-min, anggota majelis dari partai independen, yang setia di jalur kesederhanaan dan memilih mengakhiri hidup begitu dituduh menerima uang tak halal untuk biaya kampanye. Ada Nona Kang, putri bankir bank ternama yang memilih politik sebagai jalan ninja. Ia bilang, “Ketika rakyat menanggapi biasa kekurangan dan penderitaan, disitulah politikus harus hadir,”
Begitukah?