Panggilan nyaring kurir di pagar depan menyela keasyikan menonton televisi siang itu. Aku bergegas, menerima kiriman berbungkus tas kain warna kuning bertuliskan “Almalaki cuisine”.
Menarik. Al-Malaki diksi Arab dipadu dengan fancy word untuk masakan khas. Benar saja. Isinya nasi kebuli lengkap dengan uba rampe daging kambing, gulai, dan acar. Masih hangat. Wangi bumbu menguar menambah lapar. Nama sang koki terhampar jelas: Fatmawati.
Ibu Fatmawati, istri Pak Quraish Shihab memang juara kalau masak kebuli. Bertahun silam, ketika aku dan Awan, jurnalis Liputan6 SCTV menulis buku biografi Bang Odes, panggilan kecil Pak Quraish, hampir tiap pekan kami dihidangkan nasi kebuli. Lebih mak nyuss lagi karena pak Quraish yang menyendokkan nasi atau mencabik daging begitu melihat piring mulai kosong.
Nah, bertepatan dengan Tahun Baru Hijriah ini, kebuli itu kembali hadir. Mengenyangkan sekaligus menguak kenangan ketika mewawancarai keluarga besar Shihab. Kebuli itu tak hadir sendirian. Ada karya Pak Quraish “Al-Quran dan Maknanya”. Terkesan ini seperti Kitab Suci yang dilengkapi arti. Tetapi dalam pengantarnya Pak Quraish menulis, ini bukan terjemahan atau alihbahasa, karena Al Quran tidak dapat diartikan atau dialihbahasakan.
Selain penerbitan (ulang), momen Tahun Baru Islam dimanfaatkan penerbit Lentera Hati memperluas jangkauan pemaknaan Quran kepada kaum milenial, lewat peluncuran isi buku ini di aplikasi KESAN.
Dua kiriman ini sungguh bikin iri berganda. Bang Odes bisa kapan saja minta bu Fat untuk memasakkannya kebuli. Tapi yang kedua, aku iri karena Bang Odes tak berhenti berkarya. Di usianya yang ke 77, Pak Quraish terus mengamalkan laku menulis. Setiap malam, jam 9 ia sudah persiapan tidur. Kecuali ada pertandingan sepakbola yang ia sukai. Pak Quraish mengidolakan tim samba Brazil dan Belanda. Nah sebelum subuh ia sudah terjaga. Begitu habis ritual subuhan, menulis pun dimulai. Begitu terus setiap hari.
Ada banyak pendapat yang ia sitir terkait kebiasaan menulis ini. Seperti peribahasa latin kuno, verba volant, scripta manen, kata-kata akan menguap, tulisan akan abadi. Pun ucapan Imam Al-Gazhali yang terkenal dengan “Jika engkau bukan anak raja, maka menulislah”. Padahal Quraish adalah anak ulama besar dan sudah jadi ulama besar pula.
Ketika mendengar itu, aku langsung bertekad menulis setiap hari. Minimal setiap pekan. Lalu turun setiap bulan. Apa daya, hantu gadget ini benar-benar mengubah banyak hal. Waktu tersita untuk membaca dan menulis one-liner di sosmed. Padahal untuk menulis serius perlu membaca serius. Berlaku pula sebaliknya. Pilihan ada pada kita. Apakah cukup iri saja? Gak ah, aku mulai menulis aja. Seperti tulisan yang tengah anda baca ini.
Sehat selalu Bang Odes. Tetap menginspirasi.