Azan berkumandang membelah petang Mekkah. Sontak beberapa jemaah berdiri. Soleh bukan main. Tapi lihatlah, mereka berdiri bukan terburu ingin solat sunah, melainkan mengacungkan telepon merekam suara azan sambil mengambil gambar sekeliling Masjidil Haram. Ada yang mengambil video secara offline, ada yang live IG, ada pula yang sedang video call. Meriah, bersemangat.
Ini hal yang tak aku temukan ketika pertama kali datang ke Tanah Suci 18 tahun silam. Selain karena gadget kala itu belum secanggih sekarang, sikap asykar juga sangat tidak bersahabat. Jangankan di dalam area mesjid, di bagian halaman dengan latar belakang mesjid saja, kalau ketauan disuruh hapus. Masih untung kamera gak dibanting. Jadi visual dalam mesjid hanya bisa diperoleh dengan mengunduh dari televisi Kerajaan Saudi.
Suasana jauh berubah ketika empat tahun lalu aku datang lagi. Gadget sudah canggih, tapi kala itu aku benar-benar niat tak mau diganggu urusan duniawi. Jadi begitu pesawat siap-siap take off dari Cengkareng, henpon mati, dan hidup lagi begitu aku mendarat di Jakarta. Bukan sok alim, aku cuma mau hiatus dari urusan pekerjaan. Menenangkan diri dari keriuhan.
Nah kali ini karena ada tugas mengharuskan henpon harus ON, mau tidak mau henpon selalu menyertai. Dan godaan membuka alat komunikasi memanglah sangat besar. Apalagi kalau mata sudah lelah memlototi Quran, begitu liat layar henpon langsung cerah lagi. Mungkin karena pendar warna warni. Tapi pernah baca Quran di layar HP kok ya tetap aja ngantuk. Jadi rupanya ngantuk dan tidak itu bukan soal pendar cahaya.
Tentu saja perangkat komunikasi itu tak hanya untuk selfie. Kehebohan lainnya adalah berbicara. Selain volume suara yang keras, juga saat yang tidak tepat. “Udah dulu ya, udah mau mulai nih solatnya..”. Duh.. segitu pentingnya.
Jadi, kalau asykar ingin mengembalikan ke suasana 18 tahun lalu, aku pasti setuju belaka. Antum?