Belum ke Inggris, kalau belum ke York. Begitu bunyi ujar-ujar bernada promosi. Maka, siang ini pun kami telah “sempurna” berada di Inggris, setelah menjejak jembatan Lendal yang melingkupi sungai Ouse, yang membelah kota York. “Belum ke York, kalau belum melihat Clifford Tower”, kata Bang Jamal, anak Langkat yang sekolah di York. Maka aku pun segera berlari menapaki tangga menuju menara berada, agar sempurna bin komplit berada di Inggris.
Dari atas menara intai jaman baheula ini, kulepas pandang menyapu kota York. Perahu warna warni melarung di sungai Ouse, tembok melingkari sebagian kota, serta menara York Minster yang menjulang menggapai angkasa. Apa hebatnya menara ini? Ingatanku justru melayang ke benteng Port Rotterdam di Makassar. Disana aku pernah berdiri di bekas menara intai yang menghadap ke pantai losari. Dikejauhan perahu berseliweran. Sementara di jalan bersisian dengan pantai, tenda penjaja es kelapa muda menyemarak suasana. Sayang, menara itu kini betul-betul bekas.
Masuk ke dalam, ada Arupalakka dan Hasanuddin berada dalam kepengapan. Debu menempel di kaca tempat penyimpanan berbagai macam senjata. Tumpahan coca cola di lantai, menambah gulita sejarah karena tempat menyimpan kisah heroik ini semakin tak diminati.
Sementara di city center York, sebuah toko cenderamata menjual kampak seharga ratusan Pound. Pun miniatur prajurit dengan pakaian perang dan senjata masa lalu, yang terbuat dari perak. Tak seindah perak produksi Yogya, tentu. Ah, bicara Yogya, kini kota gudeg itu tak lagi seindah lagu Kla Project. Kata seorang teman, apa bedanya Yogya dengan Tangerang. Sungguh perumpamaan yang kurang ajar. Tapi apa mau dikata. Yogya yang memiliki segalanya, budaya, bangunan tua, makanan khas, keramahan, entah kenapa tetap merasa kurang pede bila tak punya mall.
Kita punya segalanya. Bila terlambat merawat, alamat gawat. Bisa-bisa anak cucu mengira benteng Takeshi-lah bentuk peperangan merebut kemerdekaan bangsa ini.