NORWICH, September 2004. Matahari masih terik, tetapi angin kencang membuat kulit yang baru datang dari negara tropis mengerut dingin. Suasana baru, wajah2 asing yang berbaur dengan rasa penasaran, membuatku memaksa diri melawan dingin. Jalan-jalan.
Kota dilengkapi jalanan lebar hingga ke area perumahan. Jauh dari macet. Ini semakin menguatkan tekadku untuk membeli mobil. Sewaktu di tanah air, aku sudah mengumpulkan daerah wisata yang harus dikunjungi. Bayanganku, itu hanya efektif bila memiliki mobil sendiri. Apatah lagi, harga mobil amat murah.
Roommate kami, Tebe, membeli roll Royce seharga 700 Pound (sekitar 13 juta). Anak Johannesburg, Afrika Selatan itu bilang, gak butuh2 amat sama mobil semewah itu. Tapi di negaranya, Roll Royce hanya dimiliki segelintir orang, jadi dia memanfaatkan situasi. Aku pun tergiur. Tetangga depan memarkir range rover seharga 4000 Pound (72 juta rupiah). Ada bagian yang bikin aku sedih, tetangga yang pekerja bangunan itu menarik anhang berisi batu dan semen.
Memang selain harga ada biaya tambahan, seperti road tax dan asuransi. Pajak jalan tergantung emisi gas buang, dibayar per 6 bulan atau 1 tahun. Mas Dono, tetangga di Kukusan yang mengajar di Teesside University, Middlesbrough bilang, Opel Zafiranya bayar road tax 280 Pound. Sedangkan asuransi berdasarkan harga mobil, umur pengendara, lokasi tempat tinggal, jenis sim, serta history claim. Makin jarang klaim, makin kecil biaya asuransi.
Meski harganya murah, rencana pembelian mobil terkendala aturan parkir. Tebe jadi salah satu penyebabnya. Jalan Glouchester, tempat kami mukim masuk kategori parkir terbatas. Dari pukul 8 sampai 19 hanya mobil bertanda khusus saja yang boleh parkir. Tiap rumah hanya dapat 1 tanda parkir, dan Tebe sudah mengambilnya di Balaikota Norwich.
Sempat terpikir siasat lain, jam 8 pagi buru-buru bawa mobil ke kampus, dan nanti dibawa pulang setelah pukul 19. Eits.., kendala lagi. Karena tempat tinggal kami dilewati bus kota 24 jam, kampus tidak memberi pass parkir. Kampus menawarkan park and ride, yang lokasinya ke kampus sama jauh dari rumah, tetapi ada di posisi berlawanan. Mobil dibawa ke park and ride, parkir disana lalu naik bus ke kampus. Sama saja bo’ong.
Urusan parkir ini memang jlimet. Belum lagi tarif yang tergantung zona, semakin mahal mendekati pusat kota. Bensin tanpa subsidi yang harganya berubah setiap saat, masalah lain lagi. Harga perliter 1.3 Pound (sekitar 23 ribu rupiah), juga akan sangat memberatkan. Perlahan, niat membeli mobil meredup, hingga akhirnya pupus. Kelak, pulang setahun kemudian niat bermobil itu tak kunjung kesampaian.
Apakah aku sedih dan susah karenanya? Sama sekali tidak. Bis kota First Norwich hadir dengan jadwal tepat, dan koneksi integratif. Semua keuntungan yang diperoleh pengguna mobil pribadi diisi sistem angkutan publik. Tak ada ngetem berlama2, tak ada buang muatan di tengah jalan, tak ada balapan yang ugal2an antar sesama sopir.
Jadwal ditentukan berdasarkan survei yang matang, karena jadwal dibuat untuk dipatuhi. Telat 5 menit saja sudah cukup bikin panas kuping sopir dicerca penumpang. Jadwal angkutan publik benar2 bisa diandalkan. Aku pernah mencoba, berangkat pagi-pagi dari rumah, tepat di halte, tepat pula tiba di terminal kota. Lalu nyambung bis antar kota Norwich-London, juga tepat waktu. Di stasiun Victoria, London, tube on time, naik pesawat pun demikian.
Bandingkan dengan naik angkot atau metro mini disini. Jangan coba2 protes jika mereka ngetem berlama2 atau jalan seperti keong. Alamat makian seperti “naik taksi kalao mau cepat” akan mendera anda. Moda transportasi “rada” modern busway, yang berjalan di jalur sendiri, tak kunjung punya jadwal. Kereta mereformasi diri dengan penjadwalan lebih rapi, hasilnya tetap saja dilanggar sesuka hati. Bahkan pesawat, moda paling mahal sekalipun, tak luput dari telat.
Parkir susah, jadwal dan layanan angkutan publik prima, membuat disinsentif tertutup insentif layanan publik. Tak perlu melarang orang membeli mobil, karena itu urusan personal. Murah dan mahal itu relatif, tetapi urusan penyediaan layanan publik bagi pembayar pajak, itu urusan komunal. Kemacetan sudah menjadi persoalan yang memangsa warga sejak pagi buta hingga malam gulita.
Masih banyak yang bisa dilakukan untuk mengurangi macet. Kuncinya: kurangi jumlah kendaraan di jalan raya. Meninggikan tarif parkir, meski akan ditolak kelas menengah, akan menjadi dis-insentif bagi pengguna mobil. Pencabutan pentil bagi pelanggar parkir, bisa jadi menimbulkan efek jera. Belum lagi sistem Electronic Road Pricing (ERP) di pusat kota, yang tak bisa diakali layaknya 3-in-1.
“Kerugian” akibat aturan parkir tadi diimbangi dengan fasilitas park and ride. Pengguna mobil diberi ruang parkir yang luas di pinggir kota, lalu beralih ke angkutan yang nyaman. Ditambah lagi insentif subsidi tiket pemerintah dan swasta. Swasta tentu tak keberatan, tokh selama ini kantor-kantor menyubsidi biaya parkir bagi karyawan. Heran, kenapa bagian ini tak pernah digugat sebagai salah subsidi.
Memang persoalan besar perbaikan kualitas angkutan publik adalah soal mindset. Bagi sebagian orang, memiliki mobil –selain rumah– adalah pencapaian pribadi. Pejabat yang baru dilantik, pasti meributkan jatah mobil dinas. Akibatnya, angkutan publik hanya untuk si miskin yang tak punya mobil pribadi, sehingga tak perlu diurus dengan baik. Cukup asal ada, tokh mereka butuh meski kualitasnya rendah dan jauh dari nyaman.
Pengguna angkutan umum adalah warga kelas sekian. Mereka dijauhkan dari pintu-pintu mall yang identik dengan kemewahan. Pengguna angkutan publik harus menyabung nyawa berpindah antar angkutan. Halte, jembatan penyeberangan yang bisa menjadi simbol berbudayanya sebuah kota, justru menjadi sarang petaka.
Lansia, ibu2 dengan balita, perempuan hamil, penyandang cacat, jatuh pada pilihan dilematis: diam di rumah atau memaksakan diri punya mobil pribadi. Tak heran, kedatangan mobil murah langsung disambut gempita.
Suatu masa, kantor dan mall akan menjadikan nama halte busway atau stasiun kereta sebagai patokan tujuan. Itu artinya telah tiba angkutan umum berada dalam marwah yang setara dengan mobil pribadi. Petugas pun sudah bisa memberi sanksi yang seberatnya, bukan berat memberi sanksi kepada pelanggar aturan lalulintas dan parkir. Bukan sangsi memberi sanksi seperti saat ini.